TIMES RAJAAMPAT, JAKARTA – Setengah juta orang warga Palestina di Gaza diperkirakan di ambang kelaparan parah, dan setiap hari mereka terus berjuang untuk mendapatkan makanan.
"Saya bersumpah perut kami semakin membusuk," kata Eman Abu Jaljum, 23, yang keluarganya di Gaza utara bertahan hidup dari kacang polong dan buncis kalengan.
Kota Gaza, seperti dilansir The New York Times, berada di ambang kelaparan parah karena perang Israel-Hamas telah berlangsung selama sembilan bulan karena diberlakukannya pembatasan terhadap pasokan bantuan oleh tentara Israel.
Klasifikasi Fase Ketahanan Pangan Terpadu (IPC), sebuah panel yang terdiri dari para ahli kelaparan global memperingatkan pada minggu ini bahwa Jalur Gaza berada di ambang kelaparan, namun bagi banyak warga Gaza, bencana tersebut sudah terjadi.
Laporan yang dikeluarkan pada hari Selasa lalu, para ahli mengatakan bahwa hampir setengah juta orang di wilayah tersebut kelaparan.
Gaza sudah hancur lebur akibat perang selama sembilan bulan antara Israel dan Hamas. "Kami hidup dalam bencana kelaparan yang lebih parah dari sebelumnya," kata Ibu Abu Jaljum.
Setiap hari mereka terus selalu berjuang untuk menemukan makanan. Sayuran segar dan daging menjadi langka. Di pasar-pasar pangan yang masih berfungsi, kelangkaan pangan telah membuat harga-harga meroket, termasuk bahan-bahan pokok seperti tepung dan beras.
Terakhir kali Iyad al-Sapti, ayah enam anak berusia 30 tahun di Kota Gaza, mendapatkan sekantong tepung dua bulan lalu. "Itupun harus mengantre selama tiga jam untuk mendapatkannya," katanya.
Satu buah paprika, lanjut dia, sekarang harganya lebih dari $2. "Terus siapa yang mampu membelinya?," katanya.
Salah satu putrinya, lanjut al-Sapti, meminta telur, namun tidak ada satu pun yang ditemukan. “Saya hanya bisa mengatakan kepadanya, saya bersumpah, saya harap saya bisa memberinya telur," katanya.
"Di wilayah utara, roti menjadi lebih tersedia karena beberapa toko roti di Kota Gaza membuka kembali pintunya," kata al-Sapti.
Keluarganya sebagian besar selama ini mengonsumsi roti dengan campuran ramuan za'atar. “Pembukaan kembali toko roti telah banyak membantu kami,” katanya.
Namun al-Sapti khawatir toko roti itu akan segera kehabisan bahan bakar. "Saya sangat berharap mereka tetap terbuka," katanya.
Meskipun peringatan akan tingginya risiko kelaparan, namun laporan IPC hari Selasa menyebutkan, jumlah makanan yang mencapai Gaza utara telah meningkat dalam beberapa bulan terakhir.
Perubahan ini bertepatan dengan pembukaan kembali penyeberangan perbatasan oleh Israel karena di bawah tekanan internasional yang kuat sehingga sangat memungkinkan lebih banyak bantuan masuk.
Penetapan kelaparan oleh IPC bergantung pada kombinasi beberapa faktor, diantaranya persentase rumah tangga yang menghadapi kekurangan pangan ekstrem, anak-anak yang menderita kekurangan gizi akut, dan kematian akibat kelaparan atau kekurangan gizi.
Namun banyak orang mungkin meninggal sebelum semua kriteria itu terpenuhi.
Sejak standar IPC dikembangkan pada tahun 2004, standar ini hanya digunakan untuk mengidentifikasi dua kelaparan: di Somalia pada tahun 2011, dan di Sudan Selatan pada tahun 2017.
Di Somalia, lebih dari 100.000 orang meninggal sebelum kelaparan diumumkan secara resmi.
Hingga Minggu, kemarin, otoritas kesehatan di Gaza melaporkan, 34 orang meninggal karena kekurangan gizi, sebagian besar adalah anak-anak.
"Sebelumnya, beberapa hal sederhana tersedia,” kata Ibu Abu Jaljum, “tetapi sekarang hampir tidak ada apa-apa," tambahnya.
Meskipun pertempuran di Gaza kini sebagian besar terkonsentrasi di wilayah selatan, kekurangan pangan dilaporkan terjadi di seluruh wilayah kantong tersebut.
Di Khan Younis, kota Gaza selatan tempat Nizar Hammad, 30, berlindung bersama keluarganya di tenda, mencari makanan tidak semudah memasaknya. "Penderitaan terbesar adalah menyiapkan makanan sendiri, karena tidak ada gas untuk memasak," katanya.
Kayu bakar sulit didapat dan mahal. Namun Nizar Hammad mengatakan, bahwa roti, tepung, pasta, nasi, dan kacang-kacangan tersedia dan relatif terjangkau di wilayahnya, dan ia bisa membeli dua kantong tepung dengan harga sekitar $2,60. Lain halnya dengan ayam, daging sapi, buah-buahan, dan sayur-sayuran.
“Masalahnya sekarang adalah kurangnya uang tunai, pekerjaan, dan pendapatan," ujar Nizar Hammad. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Setengah Juta Warga Palestina Diambang Kelaparan
Pewarta | : Widodo Irianto |
Editor | : Faizal R Arief |